Wednesday, August 13, 2014

Meresap Makna Kehidupan Cerita Wayang Kulit

Pagelaran Wayang Kulit

Wayang Kulit merupakan salah satu jenis potensi budaya yang diunggulkan di desa Kaligono.  Nama Wayang Kulit diambil sebagai istilah karena wayang jenis ini bahannya berasal dari kulit hewan yakni kerbau atau sapi.  Untuk mendapatkan satu buah Wayang Kulit, proses pembuatannya memakan waktu cukup lama dengan tingkat kerumitan tinggi. Pembuatan tersebut dimulai dari proses merendam kulit yang dipilih, kemudian menggosok kulit dan membersihkan bulu-bulu hewannya agar bersih, serta yang terakhir barulah diberi pola sekaligus diberikan warna-warna yang sesuai dengan tokoh yang digambarkan. Selain soal bahan, pada dasarnya tidak banyak perbedaan antara Wayang Kulit dengan jenis-jenis wayang lainnya misalnya dengan wayang orang. Wayang-wayang tersebut untuk lakon sama-sama berfokus pada peran-peran dari dunia wayang seperti  misalnya pendhawa, punakawan, maupun mahabarata.
Wayang Pun Bisa Bicara (Kesenian Wayang Kulit)
Kemunculan kesenian Wayang Kulit  pertama kalinya di desa Kaligono diyakini terkait erat dengan pola penyebaran agama Islam di pulau Jawa yang mengakulturasikan antara agama dengan budaya. Pada waktu tersebut, banyak dakwah yang disampaikan melalui alur cerita pewayangan sehingga lebih mudah dipahami dan merakyat bagi masyarakat. Lambat laun, penerimaan masyarakat yang baik terhadap kesenian wayang membuat kesenian ini kemudian berkembang pesat di desa Kaligono.
Seni memainkan wayang atau yang biasa disebut pagelaran wayang tidak dapat dilepaskan dari unsur-unsur pokok yang harus ada dalam pagelaran tersebut. Pagelaran wayang, khususnya Wayang Kulit membutuhkan kombinasi harmonis dari unsur benda-benda  hidup maupun benda-benda mati. Benda-benda hidup yang dimaksud misalnya sinden atau penyanyi karawitan, niyogo atau penabuh gamelan, serta yang jelas tidak mungkin tertinggal adalah peran seorang dalang yang memimpin jalannya pagelaran. Benda-benda hidup tersebut ketika pagelaran wayang harus mampu bersinergi dengan benda-benda mati di sekitarnya seperti wayang, blencong atau lampu minyak, kelir atau layar lebar, debog  atau batang pisang, keprak, kempyang, cempala, kotak wayang, serta berbagai jenis gamelan. Masing-masing benda mati tersebut memiliki peran vital dalam sebuah pagelaran wayang, misalnya  debog pisang digunakan untuk  menancapkan wayang dengan cara disimping (dijajar), kelir untuk sarana penonton menyaksikan pagelaran melalui layar lebar, serta berbagai gamelan sebagai pengiring selama pagelaran. Kombinasi harmonis ini mampu membuktikan bahwa Wayang Kulit merupakan salah satu potensi budaya asli Indonesia khususnya desa Kaligono yang mengajarkan kepada penontonnya untuk tidak lupa selalu menyinergikan diri antara dirinya sebagai benda hidup dengan berbagai benda mati di sekitarnya. Selain itu, penokohan wayang dengan alur ceritanya juga mampu mengajarkan manusia untuk meresapi makna kehidupan yang sejatinya telah tergambar nyata melalui berbagai peristiwa. 
 
Sang Maestro Jawa (Sinden)
Goro-Goro 
Wayang Kulit